Ghana -Orang yang Tak Akan Tergantikan-


                Hai, Ghana. How I miss you more than yesterday. Kabarmu gimana disana? Baik-baik aja ya, semoga. Malem ini ternyata aku nangis lagi, susah banget lho buat nahannya. Hari ini aku keinget waktu pertama kali kita ke pantai, kamu sama sekali nggak nunjukkin kamu suka aku, dan aku malah kesel sendiri. Hahaha, tapi waktu itu kamu cerita banyak ke aku, disitu aku ngerasa bener-bener mau sama kamu, Na.. Cepet balik ke sini ya. Aku kangen.”
                Nidya tersenyum sambil menutup diari, lalu mematikan lampu tidurnya. Matanya masih basah, dirinya sakit. Terbayang-bayang hal-hal yang dilaluinya dengan Ghana, kemudian tertidur.
***
                “Nidya sayaaaang, sudah hampir siang nak, kamu mau batal ke gereja?”
                “Wait ma, aku masih nyari dompet nih. Kemarin aku taruh di meja rias sekarang nggak ada”
                “Oh itu mama simpen di lemari gudang sayang, sudah nggak layak pakai lagi, nanti kita beli yang baru, ya? Pulang dari gereja. Sekarang berangkat yuk..”
                “Maaaaa, aku udah bilang berapa kali biar dompetnya nggak diganti! Aku mau dompet itu balik, mama ke gereja aja dulu. Nanti aku nyusul habis ngambil dompetnya ke gudang, oke ma? Jangan lupa doain papa yaaaaa….” Ucap Nidya sambil lalu dan meng-sms supirnya untuk berangkat ke gereja lebih dulu bersama mamanya. Dompet itu sangat berarti untuknya, pemberian papa dan Ghana-nya. Papanya meninggal dalam kecelakaan 2 tahun lalu, bersamaan dengan dimulainya koma Ghana yang tidak sadarkan diri sampai sekarang. Saat itu papa Nidya dan Ghana berdua membelikan hadiah dompet untuk Nidya, namun keduanya bernasib buruk. Sejak saat itu pula, Nidya yang ceria dan murah senyum telah berganti menjadi Nidya yang suka melamun, menyendiri. Papa, Ghana, aku ga akan ganti dompet, ini kenangan terakhirku dari kalian.. Terulang kembali janjinya, saat I-Phone nya berbunyi membuyarkan lamunan.
                “Halo, mama.. Iya aku udah nemu kok. Aku lupa sekarang harus jenguk Ghana ma, ngga kenapa kan kalau aku ke rumah sakit aja? Minggu depan deh au ke gerejanya….. Thanks, ma! Iya, deya hati-hati kok. Goodbye, ma.” Segera saja Nidya menuju garasi dan mengendarai mobilnya ke RS. Pelita Jaya, tempat Ghana dirawat 2 tahun ini.
                “Mbak Nidya, apa kabar? Sudah sebulan nih nggak kesini, Ghananya kangen sama mbak.”
                “Hehe maaf ya sus, Nidya sibuk ujian nih.. Nidya kangen banget malah sama Ghana. Kapan ya Ghana bangun, terus bercanda lagi…” Suster Tiya sedih mendengarnya. Ia adalah orang yang mengurus Ghana, dan sudah sangat dekat dengan Nidya yang biasanya menjenguk Ghana seminggu sekali.  Ia-lah yang menyaksikan seberapa besar cinta Nidya ke Ghana, dan seberapa seringnya Nidya menangis, memohon Ghana untuk cepat sadar.
                “Kalau Nidya sering kesini, Ghananya sadarnya cepet kok.. Sabar ya sayang”
                Nidya tersenyum membalas perkataan Suster Tiya, dan masuk ke ruangan Ghana. Ghana semakin lama semakin kelihatan tak bernyawa, yang membuat Nidya semakin sedih dan takut. Dikecupnya kening Ghana, dan seperti biasa ia meletakkan sobekan diarinya di meja sebelah tempat tidur Ghana. Handphonenya bergetar pelan, tanda SMS masuk. Piip… Piiip…
                Di RS jenguk Ghana, Nid? I’m omw there. Wait ya –A
                Iya, wait u here. Hati-hati, Od..
                “Ghana.. Are u okay? Nidya kangen. Pengen Ghana ngobrol sama Ghana.. Ghana cepet bangun ya, nanti kalau Ghana udah bangun, Nidya sama Ody ngajak Ghana ke pantai lagi! Ok?”
                “Nidyaaaa, Ghanaaaaaaa, haloooooo..” Audrey yang sering disebut Ody oleh Nidya datang dengan tangan penuh makanan.  Ritter Sport untuk Nidya, Cheetos untuk Ghana, walau semua tahu Ghana tidak akan pernah memakannya. “Gue kangen lo, Na! Bangunnya kapan nih? Nidyanya kasian nih..”
                “Od, makasih ya udah dateng.. Makasih juga rittersportnya, ya”
                Audrey adalah teman Nidya yang pindah dari Inggris, sejak kelas 2 SMA. Semenjak kepindahannya, Nidya mulai bisa kembali bercanda dengan teman-temannya, tidak hanya berdiam merenung dan menolak ajakan teman-temannya. Ke gereja pun Nidya tak mau, Ody lah yang merubah Nidya sedikit demi sedikit.. Yang mebuat Nidya akhir-akhir ini sedikit lupa tentang Ghana. Merasa bersalah, Nidya berusaha mengingat-ingat kenangan tentang Ghana, begitu pula dengan dompetnya. Ia tak mau mengganti dompet itu, sebenarnya karena rasa bersalahnya terhadap Ghana, telah bersenang-senang di atas penderitaan Ghana. Ia juga sedikit menghindari Audrey, tak mau mengecewakan Ghana, yang selama ini mencintainya dan koma karenanya.. Dan tanpa Nidya tahu, ia mulai menyukai Ody-nya, entah karena letih menunggu Ghana, atau semacam perasaan yang timbul karena Ody-nya, selalu ada untuknya, bahkan menemaninya menjenguk Ghana seperti sekarang ini.
                “Iya sama-sama deyaaaa, hehe. Kamu ga ke gereja ya hari ini? Mama kamu sms aku.”
                “Ooooood, udah aku bilang jangan panggil aku deyaaa!! Sok deket kamu, huh.  Cuma mama sama almarhum papa yang boleh panggil aku deya. Ok? Iya, aku males. Kenapa emangnya kalau aku ga ke gereja? Kamu mau cubit aku? Cubit aja, haha”
                “Hahaha sorry dear Nidya, I don’t mean to be like that. Besok-besok kamu ga boleh males ke gereja, inget juga dong kamu masih punya agama.. Jangan berfikir Tuhan jahat sama kamu karena udah ngerebut papa sama Ghana, ya? Minggu depan aku temenin. Habis itu ke starbucks deh. Ok?”
                “Iya, iyaa.. Starbucksnya plus Tuna Puff ya? Thanks, Od! Hehe”
                “Everything for you, princess…” Bisik Ody, tanpa didengar Nidya.
***
                Senin, 6 Juli 2011.
Nidya melangkah ke arah SMA terkemuka di Bandung. Mamanya adalah salah satu pengusaha butik terkenal, yang memiliki cabang di mana-mana bahkan hingga London, karena bantuan opanya yang juga pengusaha industry terkenal. Tak salah walaupun tanpa ayah, Nidya masih hidup lebih dari berkecukupan. Nidya menekan tombol tombol i-phonenya dan menelepon salah satu teman dekatnya, Sissy.
                “Sis, aku udah di sekolah.. Kamu dimana? Iya, ngambil ijasah aja terus kita ke rumahku deh.. Ok, bye. Salam buat Romy ya!”
Nidya kembali berjalan, sampai tiba-tiba seseorang mengagetkannya, membuat dompet yang ada di tangannya terjatuh. “Kak Nidya! Aaaaa tumben nih main ke sini lagi, mau ngapain kak? Eh ya ampun itu dompet kakak ya yang jatuh? Maaf kak, nanti aku ganti deh. Yuk kak, ke kantin!”
                “Eeeerr.. Karen, ke kantin duluan aja ya? Kak Nidya mau ambil dompetnya, sayang, masih bisa dipakai. Dikeringin sebentar aja bagus lagi kok..”
                “Ya ampuuuun, kak Nidyaaaaa, itu dompet kakak dapet dimana sih? Samapi segitunya. Perasaan itu Cuma dompet Guess yang udah last year banget deh kak, aku beliin baru deh, ga usah diambil. Gimana?”
                “Karen, Karen. You’re still the same, wanna have a spotlight beside my princess Nidya, eh? Ini dompetnya Nid.. Jangan langsung dipakai, kita keringin dulu ya.”
                Audrey. Selalu begitu, hadir membela dan menjaga Nidya, tak membiarkan sisi rapuh Nidya terlihat oleh orang macam Karen, adik-kelas-sok-kaya ini.  Banyak adik kelas yang mengagumi Nidya baik perempuan maupun laki-laki, karena Nidya, Nidya yang dulu adalah orang yang sangat mudah bergaul. “Eh, Od, mm, nggak apa, buang aja dompet itu..” Kata Nidya dengan pandangan kosong. Audrey terhenyak. Bagaimana bisa benda kesayangannya sekarang dibuang begitu saja? “Tuh kan kak Audrey, liat sendiri, kak Nidya aja pengen ngebuang dompet alay gitu, Kak Audrey kok tega sih ngotorin tangan buat dompet kucel gitu?” “Udah, udah. Nggak kenapa kok Od, ayo ambil ijasah bareng. Duluan ya Karen..” Ucap Nidya memutus oertengkaran Audrey, dengan Karen-si-adik-kelas-sok-kaya-adik-Ghana. Itulah alas an mengapa Nidya rela membuang dompetnya. Ghana.. Ghana mau dompet itu diganti kan? Nidya tau, yang ngomong tadi itu bukan Karen. Tapi Ghana..
                I have to meet Romy’s parents, darla! Sorry I can’t go to schl. xoxo –F
                Kak Nidyaa! Kak Ghana udah sadar! Wait you at hospital, Karen
                “Od, Ghana sadar. Ghana sadar! Aku ke rumah sakit ya? Kamu ambil ijasah aja dulu, take care, Od. Aku ga balik ke sini.”
                “Aku anterin. Besok-besok aja ambil ijasahnya. Ok? Ga usah protes.”
Begitulah akhir percakapan mereka, Nidya dan Audrey segera masuk ke mobil Audrey lalu melesat ke rumah sakit dengan cemas.
Ghana..  Finally. Tapi kenapa Nidya cemas, Ghana? Cemas memperkenalkan Ody ke kamu?
Wow. The day. Ghana, please gently let Nidya go with me. Kamu meninggalkannya dan membuatnya menangis terlalu lama..
***
Sesampainya di rumah sakit, suster Tiya sudah menunggu dengan wajah berbinarnya, merasa ikut bahagia melihat Ghana kembali sadar dari komanya. “Nidya, ini hari yang sudah kamu tunggu-tunggu bukan? Selamat sayang, doamu terkabulkan..” Ucapnya sambil memeluk Nidya. “Eh, iya suster Tiya, Ghana.. Pati seneng ngelihat aku. Dan aku juga.” Balas Nidya tak yakin. Suster Tiya kebingungan dengan reaksi Nidya, namun setelah melihat Audrey di belakang Nidya, ia sadar. Nidya telah jatuh cinta pada orang lain… “Oke, yuk masuk Nidya, Audrey, Ghana menunggu di dalam.”
Dalam ruangan Ghana, Nidya melihat Ghana sedang mengunyah cheetos kesukaannya. Dokter menginformasikan bahwa Ghana sehat walafiat, namun memang menjadi lebih kurus, dan untuk saat ini Ghana benar-benar lapar. “Ghana..” Ucap Nidya. Ghana menoleh, matanya berbinar saat melihat siapa yang datang.
“Nidya.. Sayang?”
“Iya, Ghana.. Akhirnya kamu sembuh.. How I miss you, ehm, bagaimana keadaanmu?”
Ghana merasakan sesuatu yang aneh dalam diri Nidya. Ditambah, melihat sosok laki-laki di belakangnya, yang terlihat sangat menyayangi Nidya dan ingin menjaganya. Princess Nidya-nya.
“Baik, well, kamu mengajak temanmu rupanya. Maukah kau memperkenalkanku padanya? Bahwa aku kekasihmu?” Ucap Ghana, tersenyum penuh arti pada Nidya.
“Hmm.. Ini Audrey, Ghana, temen Nidya. Panggilannya Ody, Ody, ini.. Ghana.”
Mendengar kata-kata yang diluncurkan Nidya, Ghana-pun mengerti. Ia sudah tak dicintai lagi, hati Nidya milik Audrey. “Hai Audrey, gue Ghana. Jaga Nidya baik-baik, ya?”
“Tentu. Gue ngejaga dia sebaik mungkin, sebisa gue.”
“Thanks… By the way, Nidya, Audrey, kalian pulang saja bagaimana? Aku agak lelah. Besok saja jenguk aku kembali.” Nidya merasa sedikit kecewa namun juga lega, ia berjalan lalu merengkuh Ghana, merasa seperti itu pelukan terakhirnya untuk Ghana. Entah mengapa, sehingga ia melepaskan pelukan itu dengan cepat. “Have a good rest, Ghana..”
***


Selasa, 7 Juli 2011….
Nidya mempersiapkan mentalnya, menguatkan dirinya, berusaha melupakan Audrey untuk Ghana. Demi Ghana, yang jatuh sakit seperti ini karenanya. Nidya sudah memutuskan, inilah hasil begadangnya semalam. Aku mencintai Ghana. Ya, Ghana. Bukan Audrey, dia hanya teman dekat yang menyemangatiku. Bukan dengannya. Setelah memantapkan diri, ia mengetik sms untuk Audrey, peringatan untuk tidak menjemputnya.
Have to go to hospital by myself. Don’t try to follow me, aku mau berdua aja sama Ghana, Od. Thanks for ur support all this time.. –N
                “Suster Tiya, Nidya boleh jenguk Ghana kan? Gimana keadaan Ghana?” Tanyanya saat bertemu suster Tiya. Suster Tiya tersenyum kecut, sedih, miris, memenuhi hatinya. Haruskah secepat ini? “Nidya, kau boleh melihat keadaannya sendiri..” Nidya bingung mendengar jawaban Suster Tiya. Ia masuk ke ruangan Ghana, dan ia langsung tahu. Ghana sudah tidak ada. Bukan koma, Ghana benar-benar sudah tidak ada. Dirinya terguncang, segera saja ia menangis, dan menangis. Tak kuat melihatnya, suster Tiya memberikan secarik kertas untuk Nidya. “Nidya… Ini pesan terakhir Ghana untuk kamu. Orang yang dia sayangi.”

                Nidya.. Honey. Aku senang sekali bisa sadar, setelah 2 tahun tertidur tanpa bisa menjagamu. Orang tuaku senang, Karen senang. Mereka memberikan waktu untukku, agar aku bisa memiliki waktu berdua denganmu, agar aku bisa meminta maaf padamu, karena telah meninggalkanmu selama 2 tahun ini. Saat kau dating bersama Audrey tadi, aku sadar. Aku terlalu lama membuatmu menangis. Terluka, berharap aku bangun. Maafkan aku, ini semua bukan salahmu. Seorang princess tidak bisa mengatur nasib orang, kan? J Semua surat surat darimu sudah kubaca… Dan sadarlah aku betapa aku merindukanmu, namun tak dapat merengkuhmu. Nidya, Audrey-lah yang membuatmu jatuh cinta padanya. Aku tak menyalahkan kalian berdua, aku mengerti. Aku pun percaya, ia bisa menjagamu lebih dari aku. Sekarang aku lega, tak ada lagi yang mampu membuatku bertahan hidup. Love you, Princess Nidya. Jangan lupakan aku, orang yang mencintaimu.. Berbahagialah bersama Audrey. Dia pangeranmu. Malaikatmu. – Ghana
Membaca surat terakhir itu, membuat Nidya menangis semakin menjadi-jadi. Ghana, Nidya sayang kamu… Nidya nggak rela Ghana pergi.. Batinnya. Audrey nggak akan bisa jadi Ghana, Nidya nyesel, Nidya harusnya yakin sama perasaan Nidya… Tangisnya, menyesali terlambatnya ia menyadari cinta dari Ghana tak akan tergantikan. Tak akan pernah.

- The End -

3 comments: